ElegiSebuahReuni

Adegan 015 – Di Tepi Kolam Kerinduan

Lorna meniti tepian kolam di taman belakang. Berjingkat tanpa alas kaki. Lalu berhenti. Memandang ke tengah kolam. Memandang bunga teratai yang selalu mekar di pagi hari. Warnanya putih kemerahan. Kolam itu berada di sudut taman. Dinaungi juntaian daun perdu air. Di sela kaki batang-batang perdu, tumbuh menyebar lumut hijau tebal, seperti karpet. Berudu hitam, banyak berkeliaran di bawahnya, yang nantinya akan tumbuh menjadi katak. Karenanya di kolam itu banyak sekali katak. Suara mereka yang mengisi suasana malam di taman belakang rumahnya.
Sementara, di dalam air kolam yang jernih. Ikan-ikan hilir mudik. Berbaris menelusuri dasar kolam. Ikan-ikan itu, berukuran seibu jari, saat Dewa memasukkan ke dalamnya. Ikan itu dibeli di Punten, sebuah desa di kota Batu. Kejadian itu sudah bertahun yang lampau. Kini ikan-ikan itu sudah tumbuh besar, sudah beranak pinak, dan memadati isi kolam, seperti dawet dalam kuali.
Seekor katak hijau, melompat dari atas daun teratai masuk ke dalam kolam. Menyelam. Dan muncul di sisi permukaan yang lain. Meninggalkan lingkaran gelombang air. Saat permukaan kolam kembali tenang. Wajah Lorna terbayang dipermukaannya. Kehadirannya rupanya yang mengejutkan katak tadi.
Lorna lalu duduk di tepi kolam. Termangu. Dengan dagu menumpu pada ujung lututnya yang menekuk. Bola matanya bak kristal. Jernih. Memandang sayu jari kakinya yang telanjang. Sementara pikirannya melanglang ke memori sekian tahun yang lalu.
Dewa suka menemani duduk-duduk dan bermain di tempat itu. Berlomba menangkap capung yang hinggap di tepi daun teratai. Atau menghitung berudu yang sulit dibilang. Lalu menebak ikan yang hilir mudik.
“Hitung yang hitam! Aku yang merah!” kata Lorna.
“Kamu cari yang mudah.”
Lorna tertawa kecil.
“Ah! Yang merah, kan jumlahnya lebih banyak dari yang hitam?”
Waktu beli dulu, Lorna lebih suka memilih warna merah.
“Iya, tapi yang hitam sulit kulihat. Dasar kolamnya gelap.”
Lorna tertawa renyah.
Dewa memercikinya dengan air.
“Hei!”
Lorna terkejut, lalu balas memerciki. Dewa membalas kembali. Lalu saling balas. Membuat wajah dan pakaian keduanya basah. Lalu diam. Saling memandang. Wajah Dewa cemas melihat wajah Lorna murung. Tapi itu kepura-puraannya saja. Karena, sesaat kemudian gadis itu tertawa kembali. Wajahnya ceria.
“Maaf!” kata Dewa seraya menyeka wajah yang basah dengan punggung tangan.
Lalu mengeluarkan sebuah saputangan dari dalam sakunya. Lorna mengerencitkan kening. Merasa heran. Sulit menemukan lelaki yang masih menggunakan saputangan sebagai penyeka. Sekarang jamannya tisu. Membersihkan segala sesuatu serba dengan tisu.
Tapi Lorna menyukai itu. Lorna menyukai keluguan itu. Terlebih saputangan itu bukan untuk menyeka wajahnya yang basah. Melainkan diberikan kepadanya.
Lorna lantas menerima saputangan bermotif batik itu.
“Pakailah…”
Lorna menunjuk pada dirinya sendiri.
“Me?”
Dewa mengangguk.
“Wajahmu basah.”
Lorna menerimanya. Tapi tak langsung menggunakan. Diperhatikannya saputangan itu. Menurutnya menarik.
“Aku yang membuatnya,” Dewa menambahkan.
“Oh, ya? Kamu yang bikin?”
Dewa mengangguk.
“Saputangan ini?”
“Iya!”
“Yang membatik?”
Dewa mengangguk meyakinkan.
“Kamu bisa membatik?”
Dewa mengangguk lagi.
Kalau membuat motif gambar, Lorna tak heran akan kemampuan Dewa. Di sekolah Dewa dikenal jago menggambar, walau keduanya tidak satu kelas.
“Lorna ingin tahu, bagaimana cara membatik.”
“Main ke rumah…”
“Boleh?”
“Boleh! Kapan?”
“Terserah Dewa.”
Lorna diam memperhatikan kembali saputangan itu.
“Nanti basah, De.”
Lorna menatap Dewa.
“Buat aku ya?”
“Kamu suka?”
“Ya.”
“Ambilah!”
“Terima kasih, ya!”
Tapi, Lorna mengulurkan saputangan itu pada Dewa kembali.
Dewa merasa heran.
“Pakai dulu. Mukamu basah.”
Dewa tersenyum, menerima saputangan itu.
“Sweet heart!”
Lorna tersentak dari lamunannya. Mami memanggilnya dari dalam rumah. Dengan wajah kecewa lantaran ingatan yang indah tiba-tiba lenyap begitu saja. Berpaling ke asal suara.
“Yes, Mom?”
“Lihat! Siapa yang datang?”
Rahma dan Grace melambaikan tangan di samping Maminya.
Kemurungan di wajahnya segera berganti.
“Kemari!” Lorna berteriak memanggil.
Rahma dan Grace lantas menghampiri.
“Kita di sini saja ya?” ajak Lorna.
“Di sini juga enak,” kata Grace.
“Bukankah kolam ini dulu yang membuat Dewa?”
Ucapan Rahma, membuat Lorna menatapnya. Rahma membalas tatapan itu.
“Sori…” Rahma meminta maaf.
Grace ikut memandang Lorna. Reaksi Lorna, merasa diingatkan ke masa lalunya. Tapi sudah terlambat. Belum lama berselang, Lorna berada dalam lingkaran masa lalu itu.
Mereka bersimpuh, bersama, di tepi kolam. Bercerita seputar reuni yang tak Lorna hadiri. Reuni yang berjalan tak sebagaimana yang diharapkan. Walau masih ada kesempatan. Yakni di acara penutupan, yang akan diadakan di suatu tempat rekreasi, di kaki sebelah barat gunung Welirang, tempat itu bernama Cangar.
Rahma bertanya. Kenapa semalam Lorna sulit ditelpon? Kenapa memutuskan teleponnya?
“Mikirin dia?” tanya Rahma sengaja menyinggung Dewa.
Lorna melempar sepotong rumput ke dalam kolam.
Rahma dan Grace tak ingin hubungan Lorna dan Dewa pupus ditengah jalan hanya lantaran selisih paham.
“Entahlah. Aku juga nggak ngerti, kenapa pingin nelpon kamu,” Lorna menjelaskan dengan suara perlahan.
Dagunya yang bulat, terbelah tengah. Masih menumpu di atas lututnya. Jari tangannya berkutat di kuku jari kaki. Matanya memperhatikan seekor ikan mas sedang mengisap jari Grace yang dicelupkan ke permukaan air kolam.
“Katakanlah. Barangkali soal Dewa?” tanya Grace pingin tahu.
Lorna diam tak membalas.
“Kamu nggak bisa terus memendam perasaan seperti ini, Na. Kalau kamu masih mencintainya, kembalikan hubungan kalian.”
“Kalian sudah ketemu?” Lorna balik bertanya.
“Belum!” balas Rahma seraya menggeleng.
Sejenak Rahma dan Grace saling pandang. Kemudian beralih ke Lorna.
“Kamu yang sudah melihatnya, Na.” ujar Rahma.
“Jangan bercanda!” tukas Lorna.
“Benar!” ujar Grace dan Rahma bersama-sama.
Lorna seketika, menegakkan leher. Keningnya mengerenyit. Telapak tangannya menangkup hidungnya yang bangir. Menutupi bibir.
“What? Kapan?” tanya Lorna. Dadanya dirasakannya berdebar.
“Coba ingat kembali, kejadian di pintu gerbang. Ketika sebuah motor hampir menabrakmu.”
Lorna terkesima.
“Ya? Kenapa?”
“Itu Dewa!” jawab Rahma meyakinkan.
“Hah?!” Lorna menutup mulut dengan telapak tangan.
“Kenapa kalian nggak bilangin aku?” lanjutnya.”
“Kita baru tahu kemarin dari cerita Joy dan Beni. Aku tadinya nggak yakin, karena pagi itu kita kan bersama-sama?”
Lorna mengangkat wajah kembali.
“Kejadian itu sebelum kalian tiba. Tapi sungguh, aku nggak tahu.”
“Tapi kamu diam saat Dewa memanggilmu.”
Bola matanya terbeliak. Menatap tajam Rahma dan Grace bergantian.
“Nggak bener!” bantahnya.
“Bener! Itu Dewa! Dia berusaha menegurmu!” Grace berusaha meyakinkan.
“Tapi aku nggak tahu, Rah!”
Ketiganya terdiam. Larut dalam pikirannya sendiri. Lorna menundukkan wajah. Lama. Tak bergeming. Memperhatikan seekor semut hitam, merayap ke dalam lubang, di sela lantai batu. Rahma dan Grace tak mau mengusik. Menunggu sampai Lorna bicara.
“Kalian bisa bantu aku?” Akhirnya Lorna bertanya.
“Kenapa mesti tanya?” sela Grace.
“Mau nggak?”
“Eh, kita belum jawab nggak mau. Kita sih siap saja!” sela Grace lagi.
“Apa maumu?” tanya Rahma.
“Mengantarkan ke rumahnya?”
Rahma dan Grace memandang heran.
“Ke rumah Dewa?” tanya Grace.
Lorna mengedipkan mata.
“Kamu kan belum sehat,” Kata Rahma.
Lorna cepat memotong.
“Memangnya kamu dokter. Kejadian kemarin kan lantaran aku kecapaian.”
“Yah, capai mikirin Dewa,” sela Rahma.
Lorna memercikinya dengan air kolam.
“Tul, kan?” goda Rahma.
“Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan? Kamu sudah sehat. Masih nekad ketemu Dewa?” tanya Grace.
“Lha iyalah. Sia-sia jauh-jauh dari Australia.”
Lorna mencubit lengan Rahma.
“Kondisi badanmu sudah fit? Kalau iya, kita bisa meluncur ke rumahnya,” sambung Grace.
“Sekarang ya?”
“Kalau nggak sekarang, kapan?”
Katak hijau itu masih berada di seberang. Memperhatikan turut mendengar perbincangan ketiga gadis itu. Tak lama kemudian ketiga gadis itu pergi meninggalkan tepi kolam.
Suasana kolam kembali sepi. Hanya sesekali suara katak dan letupan gelembung yang muncul ke permukaan kolam.

Tinggalkan komentar